KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
BOM BALI I (12 OKTOBER 2002)
DAN UPAYA HUKUM YANG TELAH DILAKUKAN
MAKALAH
Dosen
Pengampu:
Dr. H. Aunul Hakim, M.H
Oleh:
Muh. Sirojul Munir (13220206)
JURUSAN
HUKUM BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS
SYARI’AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2015
ABSTRACTION
The 2002
Bali bombing (also known as Bali bomb I) is a series of three events of the
bombing that occurred on the night of October 12, 2002. The first two
explosions occurred at Paddy's Pub and the Sari Club (SC) on Screet Legian,
Kuta, Bali, while the last blast occurred near the Office of the United States
Consulate, although the distance is far enough. The series of bombings was the
bombing first then followed by bombings in a much smaller scale, which also
housed in Bali in 2005. Noted 202 casualties and 209 people wounded or injured,
most victims is a foreign tourist visiting to a location which is the tourist
attractions.
The tragedy
of Bali bombings is one of the crimes against humanity that occurred in this
country, deprivation of the right to life based on the religion being the very
issue of energy consuming country. Given that the country is a country that is
plural and pluralis.
Bali bombing
happen based on dissatisfaction from a group of the radikalis, on the
international politics of pitting the nation's East, and at East nations oil
exploitation by Western Nations. A group of radicals that Indonesia obtaining
military training in Afghanistan exposing their disapproval by making noise and
concerns through the bombing in the place which became a destination for
tourists of foreign countries. In addition, sentiment and the Islamic schools
of its own be a reason behind their heartbreaking events.
Human rights
violations of the bali bombing are very visible. in this context considered
infringement because scowled right to life parties. Indonesia as the countries
adherents understand, which upholds Human Rights has done the process of law to
prosecute the perpetrators of those Human Rights violators.
Law of
Indonesia is required to give a ruling accordingly for the perpetrators,
because their crimes classified as extraordinary crimes. From the results of
research that has been done, the process of law in judging these offences have
reached the final point, with convicted the perpetrators with the death penalty
and life imprisonment for the escape from death. As for the process is as
follows:
1.
Capture and examination of Amrozi
2.
Expose the perpetrators of Amrozi
3.
Amrozi was tried and sentenced to
death.
4.
Imam samudra was tried and sentenced
to death
5.
Ali Gufran was sentenced to death.
6.
PK I, II, III were rejected by the MK.
7.
Amrozi Cs at execution
Thus, human rights violations in the
case of the Bali bombing has reached the settlement process has been completed.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Terorisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah
menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu
tujuan (terutama tujuan politik).[1]
Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan
kekerasan terhadap penduduk sipil untuk mencapai tujuan politik, dalam skala
lebih kecil dari pada perang.
Terorisme mengandung arti ‘menakut-nakuti’. Kata tersebut berasal dari
bahasa latinterrere, “menyebabkan ketakutan”, dan digunakan secara umum
dalam pengertian politik sebagai serangan terhadap tatanan sipil selama rezim
terror pada masa Revolusi Perancis V akhir abad XVII.[2]
Jika di pahami secara jernih kejahatan terorisme merupakan hasil dari
akumulasi beberapa faktor, bukan hanya oleh faktor pisikologis tetapi
juga ekonomi, politik, agama, sosiologis dan masih banyak yang lain.
Terlalu simplistik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme hanya
berdasarkan satu penyebab saja, misalnya psikologis. Konflik etnik, agama, dan
ideologi, kemiskinan, tekanan modernisasi ketidakadilan politik, kurangnya
saluran komunikasi dana, tradisi kejamanan, lahirnya kelompok – kelompok
revolusioner, kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah.
Memang tidak bisa disalahkan jika terorisme dikaitkan dengan persoalan hak
asasi manusia (HAM), karena akibat terorisme banyak kepentingan umat manusia
yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah dijadikan ongkos kebiadaban dan
kedamaian hidup antar umat manusia jelas-jelas dipertaruhkan.
Namun demikian, akhir-akhir ini kita sering mendengar bahwa aksi-aksi
yang melatar belakangi aksi terorisme di Indonesia sering kali dipertautkan
dengan agama. Bukankah sudah menjadi kebenaran umum bahwa agama merupakan suatu
wadah dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian umat manusia.
Seperti Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 di Indonesia yang notabene
dilatar belakangi oleh rasa jihad dari oknum kelompok agama yang radikal.
Meskipun didasari rasa semangat juang membela agama, namun cara yang dipilih
itu telah melanggar hak asasi manusia. Maka, hal tersebut membuat penulis
tertarik untuk mengulas dan menganalisis terhadap kasus pelanggaran HAM
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Kenapa
terjadi tragedi pelanggaran HAM dalam pengeboman di Bali?
2.
Bagaimana
proses dan upaya hukum mengenai pengeboman di Bali?
3.
Bagaimana
pandangan syariah atas Undang-undang no. 15 tahun 2003 tentang terorisme yang
ditetapkan setelah tragedi bom Bali tersebut?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui latar belakang terjadinya bom Bali I.
2.
Untuk
mengetahui proses dan upaya hukum mengenai bom Bali I.
3.
Untuk
mengetahui pandangan syariah atas Undang-undang no. 15 tahun 2003 tentang
terorisme yang ditetapkan setelah tragedi bom Bali tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Bom Bali I
1.
Kronologi
Tragedi Bom Bali I
Sejak mencuatnya kasus 11 September di Amerika Serikat, Negara-negara di
dunia mulai meningkatkan keamanan dan berbagai langkah antisipasi terhadap
gerakan terorisme, baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri
itu sendiri.[3]
Akhir-akhir ini, modus aksi terorisme mulai beragam, mulai dari bom bunuh
diri, bom buku bahkan dengan modus penculikan yang disertai dengan pencucian
otak korbannya (brain whasing). Ancaman tersebut bisa terjadi kapan saja dan di
mana saja, serta mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Saat ini tidak ada
tempat yang aman dan dapat dikatakan bebas dari ancaman terorisme.[4]
Bom Bali 2002 (disebut juga Bom Bali I)adalah rangkaian tiga
peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober
2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di
Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat
Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan. Rangkaian pengeboman ini
merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul oleh pengeboman dalam skala
yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005. Tercatat 202
korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan
wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat wisata
tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa terorisme
terparah dalam sejarah Indonesia. Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian
luar negeri yang telah dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom
yang digunakan berjenis TNT
seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX berbobot antara 50-150
kg.[5]
2.
Daftar
Aktor atau Pelaku Bom Bali I
Para
pelaku Bom Bali I yang telah tertangkap dan telah diadili adalah sebagai berikut:[6]
b.
Abdul
Gani, didakwa seumur hidup
d.
Ali
Ghufron alias Mukhlas,
terpidana mati
f.
Azahari
Husin alias Dr. Azhari alias Alan (tewas
dalam penyergapan oleh polisi di Kota Batu
tanggal 9 November 2005)
Serta masih ada pelaku-pelaku lain yang telah tewas dan belum jelas
status hukumnya.
B.
Proses dan Upaya Hukum Mengenai Bom Bali I
Pasca tragedi bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang tercatat, sedikitnya,
202 orang tewas dan 209 orang terluka,[7] Indonesia
mulai mengintensifkan penanganan terorisme. Hal ini diapresiasikan dengan
di bentuknnya pasukan Densus 88 Anti terror oleh Mabes POLRI atau pasukan
khusus lainnya yang tugas utamanya mengantisipasi dan menggagalkan aksi terorisme
di Indonesia.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak
Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai
akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya
mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor
intelektual dibalik setiap aksi terorisme tersebut. Hal ini menjadi prioritas
utama dalam penegakan hukum.
Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur
tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada
peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP),
akhirnya pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi
Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 Tentang pemberantasanTindak
Terorisme.
Runut kejadian dan proses upaya hukum bom Bali I adalah sebagai berikut:[8]
- 12 Oktober 2002, terjadinya pengeboman di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di jalan Legian, Kuta Bali.
- 16 Oktober 2002, Pemeriksaan saksi untuk kasus terorisme itu mulai dilakukan.
- 20 Oktober 2002, Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri menyimpulkan bahwa jenis bom yang digunakan berjenis TNT seberat 1 kg dan bom RDX berbobot antara 50-150 kg.
- 30 Oktober 2002, Tiga sketsa wajah tersangka pengebom itu dipublikasikan.
- 4 November 2002, Nama dan identitas tersangka telah dikantongi petugas. Tak cuma itu, polisi juga mengklaim telah mengetahui persembunyian para tersangka.
- 5 November 2002, Salah satu tersangka kunci ditangkap. Amrozi bin Nurhasyim ditangkap di rumahnya di di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur.
- 6 November 2002, 10 Orang yang diduga terkait ditangkap di sejumlah tempat di Pulau Jawa. Hari itu juga, Amrozi diterbangkan ke Bali dan pukul 20.52 WIB, Amrozi tiba di Bandara Ngurah Rai.
- 8 November 2002, Status Amrozi dinyatakan resmi sebagai tersangka dalam tindak pidana terorisme.
- 9 November 2002, Tim forensik menemukan residu bahan-bahan yang identik dengan unsur bahan peledak di TKP.
- 10 November 2002, Amrozi membeberkan lima orang yang menjadi tim inti peledakan.
- 11 November 2002, Tim gabungan menangkap Qomaruddin yang diduga ikut membantu meracik bahan peledak untuk dijadikan bom.
- 17 November 2002, Imam Samudra, satu lagi tersangka bom Bali, ditangkap di dalam bus Kurnia di kapal Pelabuhan Merak.
- 1 Desember 2002, Tim Investigasi Bom Bali I berhasil mengungkap mastermind bom Bali yang jumlahnya empat orang, satu di antaranya anggota Jamaah Islamiah (JI).
- 3 Desember 2002, Ali Gufron alias Muklas (kakak Amrozi) ditangkap di Klaten, Jawa Tengah.
- 4 Desember 2002, Sejumlah tersangka bom Bali I ditangkap di Klaten, Solo, Jawa Tengah, di antaranya Ali Imron (adik Amrozi), Rahmat, dan Hermiyanto.
- 6 Januari 2003, Berkas perkara Amrozi diserahkan kepada Kejaksaan Tinggi Bali.
- 16 Januari 2003, Ali Imron bersama 14 tersangka yang ditangkap di Samarinda tiba di Bali.
- 8 Februari 2003, Rekonstruksi bom Bali I.
- 12 Mei 2003, Sidang pertama terhadap tersangka Amrozi.
- 2 Juni 2003, Imam Samudra mulai diadili.
- 30 Juni 2003, Amrozi dituntut hukuman mati.
- 7 Juli 2003, Amrozi divonis mati.
- 28 Juli 2003, Imam Samudra dituntut hukuman mati.
- 10 September 2003, Imam Samudra divonis mati.
- 28 Agustus 2003, Ali Gufron alias Muklas dituntut hukuman mati.
- 2 Oktober 2003, Ali Gufron divonis mati.
- 30 Januari 2007, PK pertama Amrozi cs ditolak.
- 30 Januari 2008, PK kedua diajukan dan ditolak.
- 1 Mei 2008, PK ketiga diajukan dan kembali ditolak.
- 21 Oktober 2008, Mahkamah Konstitusi tolak uji materi terhadap UU Nomor 2/Pnps/1964 soal tata cara eksekusi mati yang diajukan Amrozi cs.
- 9 November 2008, Amrozi cs dieksekusi mati di Nusakambangan.
C.
Pandangan Islam Terhadap Undang-undang no. 15 Tahun 2003 Tentang
Terorisme yang Ditetapkan Setelah Tragedi Bom Bali I.
Dalam perspektif hukum islam, setiap peraturan perlu dianalisis dan dikaji
lebih mendalam lagi, agar setiap peraturan tersebut bisa mencerminkan suatu
kemaslahatan dan berfungsi secara maksimal. Maqosid As-Syari’ah adalah
salah satu metodologi yang sangat relevan guna menganalisis peraturan tersebut,
karena dalam menganalisis suatu permasalahan, maqosid as-syari’ah tidak hanya
melihat dari sisi religious saja, mtetapi juga memperhatikan memandang dari
segi aspek, sosial, dan budaya.[9]
Sebagai doktrin, Maqosid Ash-Syariah berfungsi untuk mencapai, menjamin dan melestarikan kemaslahatan bagi umat
islam. Oleh karena itu dicanangkanlah tiga sekala prioritas yang saling
melengkapi, diantaranya:
1. Al-dharuriyat (melindungi agama,jiwa,akal,harta dan
keturunan)
2. Al-hajiyat (merupakan suatu kebutuhan yang bersifat sekunder)
Sebagai metode, teori doktrin Maqasid Ash-Syariah
diatas, bisa dipakai sebagaia pisau analisis dalam rangka membedakan suatu
permasalahan, sehingga dapat dihasilkan kesimpulan hukum atas permasalahan
tersebut.
Isi kandungan dari Undang-undang no 15 tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Teroris terbukti bermaksud untuk membela Maqosid Ash-Syari’ah (tujuan-tujuanSyari’ah),
yang berfungsi untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Maqosid Ash-Syari’ah tingkat pertama yaitu Dharuri, dimana keberadaan
undang-undang tersebut bersifat wajib, karena memiliki maksud untuk melindungi
jiwa, akal, harta, agama, keturunan, dan harga diri. Suatu kemaslahatan tidak
akan bisa tercapai jika jiwa masyarakat terancam. Ketika jiwa masyarakat
tidak bisa diselamatkan maka hal ini akan membuat kekayaan menurun yang
diakibatkan karena sudah tidak adanya tulang punggung keluarga.
Selain itu, masyarakat yang menjadi korban tidak dapat melaksanakan
ibadahnya dengan khusu’, karena kebanyakan masyarakat yang menjadi korban
tindak terorisme tersebut banyak yang mengalami depresi, stress, bahkan
gangguan jiwa. Dan begitu pula ketika para korban tersebut meninggal dunia, secara
otomatis akan mengurangi pertumbuhan penduduk, dan mumutuskan rantai keturunan.
Maqosid Ash-Syari’ah tingkat yang
kedua yaitu Hajiyat (sekunder) dalam hal ini Undang-undang
terorisme bisa bersifat Hajiyat (sekunder) ketika Negara
berada dalam kondisi aman terkendali, dimana keberadaan Undang-undang tersebut
hanya dibutuhkan untuk mengantisipasi ancaman tindak terorisme.
Maqosid Ash-Syari’ah tingkat yang
ketiga yaitu Tahsiniyat (pelengkap). Undang-undang terorisme bisa dianggap bersifat
Tahsiniyat jika hanya berfungsi untuk mendongkrak popularitas negaranya, karena telah ikut serta dalam upaya pembrantasan tindak
terorisme dunia seperti yang dilakukan negara maju, seperti Amerika, Inggris
dan sekutunya sehingga menimbulkan rasa kebanggaan tersendiri dengan keberadaan Undang-undang terorisme tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bom
Bali 2002 (disebut juga Bom Bali I) adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman
yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober
2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di
Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika
Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan. Kejadian bom Bali I tersebut
termasuk kedalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), karena telah
mengancam ribuan nyawa.
Menyadari sedemikian
besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak
yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom
Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak
Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik setiap
aksi terorisme tersebut. Maka pada saat itu pemerintah melakukan sebuah
terobosan dengan mengeluarkan Undang-undang no. 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Terorisme yang kemudian dinilai efektif sehingga dapat menghukum
para aktor bom Bali I yaitu Amrozi Cs, dengan dipidana mati dan ada juga yang
dipidana seumur hidup. Hal tersebut diupayakan sebagai alat pembuat jera para
jaring terorisme di Indonesia, sehingga tidak terjadi kembali kasus-kasus
terorisme selanjutnya.
Isi kandungan dari Undang-undang no 15 tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris terbukti bermaksud untuk membela Maqosid Ash-Syari’ah (tujuan-tujuanSyari’ah),
yang berfungsi untuk melindungi kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Bambang. 2005. Teror Bom
di Indonesia. Jakarta: Grafindo.
Chomsky, Noam. 1991. Menguak
Tabir Terorisme Internasional. Yogyakarta: Mizan.
Medpress, Tim. 2005, Petualangan Teror Dr. Azahari. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Salendra, Kasjim. 2009. Terorisme
dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departement Agama RI.
Wahid, Abdul, dkk. 2004. Kejahatan
Terorisme. Bandung: PT. Retika Aditama.
http://www.detiknews.com/read/2008/11/09/015608/1033710/10/kronologi-bom-bali-eksekusi-mati-amrozi-cs, diakses pada tanggal 14 Juni 2015 pukul 20.00 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002,
diakses pada tanggal 14 Juni 2015 pukul 20.00 WIB.
[1] Kamus Besar
Bahasa Indonesia.
[3] Noam Chomsky, Menguak
Tabir Terorisme Internasional, (Yogyakarta: Mizan, 1991), h. 18.
[5] http://www.detiknews.com/read/2008/11/09/015608/1033710/10/kronologi-bom-bali-eksekusi-mati-amrozi-cs, diakses pada tanggal 14 Juni 2015 pukul 20.00 WIB.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002,
diakses pada tanggal 14 Juni 2015 pukul 20.00 WIB.
[8]
http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002,
diakses pada tanggal 14 Juni 2015 pukul 20.00 WIB.
[9]
Kasjim Salendra, Terorisme
dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departement Agama RI, 2009), h. 53.
[10] Wahbah
al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Darul Fikr, 1986), h.
1020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar