SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
(AKAD)
(Urgensi Sahnya Suatu Perjanjian, Syarat Subyektif dan
Objektif Serta Tabulasi Perbandingan)
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Hukum
Perjanijian Syariah
Semester IV tahun ajaran 2014-2015
Dosen
Pengampu:
Dr.
Suwandi,
M.H.
Oleh:
Muh. Sirojul Munir : 13220206
JURUSAN
HUKUM BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS
SYARI’AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul Pengantar Filsafat Hukum Islam.
Makalah ini
diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perjanjian Syariah, dengan dosen
pengampu Dr. Suwandi,M.H
Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah
ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal
‘Alamin.
Malang, 14 April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
BAB II: PEMBAHASAN................................................................................. 3
A. Syarat Sah Perjanjian........................................................................... 3
1. Definisi Syarat Sah Perjanjian........................................................... 3
2. Perbedaan Syarat dan Rukun............................................................ 4
B. Urgensi Sahnya Suatu Perjanjian....................................................... 5
1. Akad Shahih..................................................................................... 5
2. Akad Tidak Shahih........................................................................... 5
C. Syarat Subyektif dan Syarat Subyektif.............................................. 6
1. Syarat Subyektif............................................................................... 6
a.
Syarat
Subyektif Menurut Syariah.............................................. 6
b.
Syarat
Subyektif Menurut KUHPerdata.................................... 6
2. Syarat Obyektif................................................................................. 7
a.
Syarat
Obyektif Menurut Syariah............................................... 7
b.
Syarat
Obyektif Menurut KUHPerdata...................................... 9
D. Tabel Perbandingan Syariah dan Konvensional............................... 10
1. Perbandingan Syarat Subyektif dan Landasannya........................... 10
2. Perbandingan Syarat Obyektif dan Landasannya............................ 11
BAB III: PENUTUP......................................................................................... 14
A. Kesimpulan............................................................................................ 14
B. Saran dan Kritik................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan
untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu
hal, yang diwujudkan dalam ijab (penawaran) dan qabul
(penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua
belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat. Ini berarti Hukum
Perikatan Islam pada prinsipnya juga menganut asas kebebasan berkontrak yang
dituangkan dalam antaradhin sebagaimana diatur dalam
QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu perikatan atau
perjanjian akan sah dan mengikat para pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin)
yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).
Adanya suatu akad mengakibatkan para pihak terikat secara syariah
berupa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak sesuai
dengan prinsip syariah. Sahnya suatu akad menurut Hukum Islam ditentukan dengan
terpenuhinya rukun dan syarat suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus
dipenuhi dalam suatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur
yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba untuk menjelaskan
mengenai syarat sah dari suatu perjanjian, yang mana menjadi salah satu
penunjang yang penting dari sebuah akad. Karena suatu akad tidak dapat
dibenarkan (dikatakan sah) apabila tidak terpenuhi syarat-syaratnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan syarat sah perjanjian?
2.
Apa
urgensi dari sahnya suatu akad?
3.
Apa
saja syarat subjektif dan syarat objektif dari akad?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Supaya
mengetahui syarat sah perjanjian.
2.
Supaya
mengetahui urgensi dari sahnya suatu akad.
3.
Supaya
mengetahui syarat subjektif dan syarat objektif dari akad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Syarat Sah Perjanjian
1. Pengertian Syarat sah perjanjian
Dalam kitab fathul muin, pada bab shalat dikatakan
bahwa syarat adalah:
الشرط ما يتوقف عليه صحة الصلاة وليس منها
“Syarat adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya shalat, dan bukan
termasuk dari unsur-unsur shalat tersebut.
Maka, apabila dikaitkan dengan
akad, syarat dapat didefinisikan sebagai berikut:
الشرط ما يتوقف عليه صحة العقد وليس منها
“Syarat adalah sesuatu yang menyebabkan
sahnya akad, dan bukan termasuk dari unsur-unsur akad tersebut
Dalam definisi lain, syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum
syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan
hukum pun tidak ada”.
Maka, dari pengertian-pengertian diatas,
kita dapat menyimpulkan bahwa syarat sah akad
adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak keabsahan
akad. Jika tidak terpenuhi, maka akad tersebut
rusak (fasid).
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah
mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu
kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadharatan, dan
syarat-syarat jual beli rusak.
Secara
umum, syarat sah dari akad bisa dikatakan sebagai berikut:
a. tidak
menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung
pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi
kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah
Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak
terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal
demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa
halal.
b. harus sama
ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus
didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh
mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak
terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat
tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai
syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan
kesepakatan (konsensualisme).
c. harus jelas
dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan
kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak
terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai
konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata
mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
disebut dengan adanya obyek tertentu.
2. Perbedaan syarat dan rukun
Sesungguhnya antara rukun dan syarat punya hubungan yang erat,
yaitu bahwa keberadaan masing-masing sama-sama sangat menentukan sah atau tidak
sahnya suatu amal. Suatu ibadah tidak akan sah, bila salah satu dari sekian
banyak rukunnya tidak terpenuhi. Demikian juga, bila kurang salah satu di
antara syarat-syaratnya, juga tidak sah.
Tetapi antara rukun dan syarat juga punya perbedaan yang prinsipil,
meski sangat tipis. Sehingga karena saking tipisnya itulah maka para ulama
seringkali berbeda pendapat tentang apakah suatu amal termasuk ke dalam daftar
rukun atau termasuk ke dalam daftar syarat.
Perbedaan yang asasi antara rukun dan syarat adalah bahwa rukun itu
masuk dan berada di dalam ritual ibadah itu sendiri. Sedangkan syarat, tidak
masuk ke dalam ritual ibadah, posisinya ada sebelum ibadah itu dilakukan.
Contoh sederhananya adalah menutup aurat sebagai syarat sah shalat,
yang harus sudah dikerjakan sebelum shalat. Orang harus sudah menutup aurat
sebelum shalat dilaksanakan. Tidak ada cerita pakai sarung sambil sujud atau
membaca doa qunut. Pakai sarung itu dikerjakan sebelum shalat. Dan itu adalah
syarat sah shalat. Sedangkan rukun, posisinya ada di dalam ibadah itu.
Misalnya, membaca surat Al-Fatihah adalah rukun, dan dikerjakannya di dalam
shalat, bukan sebelumnya.
B.
Urgensi Sahnya Suatu Akad
Akad dibagi menjadi beberapa macam, yang setiap macamnya sangat
bergantung pada sudut pandangnya. Diantaranya yaitu macam-macam akad ditinjau dari
ketentuan syara’ antara lain:
1. Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang memenuhi unsur
dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah ulama Hanafiyah,
akad sahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syariat pada asalnya dan
sifatnya.
2. Akad Tidak Sahih
Akad tidak sahih adalah akad yang tidak
memenuhi unsur dan syaratnya. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum
atau tidak sah. Jumhur ulama selain hanafiyah, menetapkan bahwa akad yang batil
atau fasid termasuk golongan ini, sedangkan ulama hanafiyah membedakan antara
fasid dan batal.
Dari pembagian tersebut, dapat difahami
bahwa sangatlah penting suatu akad itu bersifat sah, yakni terpenuhinya semua
rukun dan juga syarat. Karena apabila suatu akad tidak memenuhi rukun dan
syaratnya, maka akad tersebut bersifat batal ataupun fasid dan akad tersebut
pun tidak memiliki kekuatan hukum.
C.
Syarat Subyektif dan Objektif Akad
1.
Syarat
Subyektif
a.
Syarat
subyektif menurut syara
Subjek Akad disini adalah dua pihak atau lebih yang melakukan akad.
Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad
sehingga akad tersebut dianggap sah. Kelayakan tersebut terwujud dengan
beberapa hal berikut:
1)
Kemampuan
membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah
berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal
karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian.
2)
Bebas
memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan, kalau paksaan itu
terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan perlu pengalihan hutangnya, atau
orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi
hutangnya.
3)
Akad
itu dianggap berlaku bila terdapat
khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan),
khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.
b. Syarat subyektif menurut KUHPerdata
Syarat subyek perjanjian menurut pasal 1320-1329 KUHPerdata, meliputi:
1) Adanya kesepakatan / izin (toesteming) kedua belah pihak.
Kesepakatan antara para pihak, yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara
kedua belah pihak, tidak ada paksaan dan lainnya.
2) Kedua belah pihak harus cakap bertindak. Cakap
bertindak adalah kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan
perbuatan hukum. Beberapa golongan orang yang oleh Undang-Undang dinyatakan
tidak cakap seperti : orang dibawah umur, orang di bawah pengawasan (curatele).
2. Syarat Obyektif
a. Syarat obyektif menurut syara’
Mahallul ‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan
dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa
benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud, seperti
manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd adalah sebagai
berikut:
1)
Objek
perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan
Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti
menjual anak hewan yang masih didalam perut induknya atau menjual tanaman
sebelum tumbuh. Alasannya, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin
bergantung pada sesuatu yang belum ada. Namun demikian pengecualian terhadap
bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna, dan musyaqah yang objek
akadnya diperkirakan akan ada di masa yang akan datang. Pengecualian ini
didasarkan pada istihsna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan
muamalat.
2)
Objek
perikatan dibenarkan oleh syariah
Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah
memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya tidak suci,
seperti bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidak memiliki nilai
dan tidak memiliki manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam
tasharruf akad tidak mensyaratkan adanya kesucian objek akad.
Dengan demikian, jual beli kulit bangkai dibolehkan sepanjang
memiliki manfaat. Kecuali benda-benda yang secara jelas dinyatakan dalam nash,
seperti, khamar, daging babi, bangkai dan darah. Selain itu, jika objek
perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah,
seperti pelacuran, pembunuhan adalah tidak dibenarkan pula, batal. Ahmad Azhar
Basyir berpendapat bahwa, benda yang bukan milik seseorang pun tidak boleh
dijadikan objek perikatan. Karena hal ini tidak dibenarkan dalam syari’ah.
3)
Objek
akad harus jelas dan dikenali
Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan
dan diketahui oleh ‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman
di antara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut
berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi, dan keadaannya.
Jika terdapat cacat pada benda tersebut pun harus diberitahukan. Jika objek
tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memilki keahlian sejauh mana
kemampuan, keterampilan, dan kepandaiannya dalam bidang tersebut. Jika pihak
tersebut belum atau kurang ahli terampil, mampu, maupun pandai, tetap harus
diberitahukan agar masing-masing pihak memahaminya.
Dalam Hadits riwayat Imam Lima dari Abu Hurairah bahwa Nabi
Muhammad Saw melarang jual-beli gharar (penipuan) dan jual-beli hassah (jual
beli dengan syarat tertentu, seperti penjual akan menjual bajunya apabila lemparan
batu dari penjual mengenai baju itu).
4)
Objek
dapat diserah terimakan
Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan pada saat akad
terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu disarankan
bahwa objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah untuk
menyerahkannya kepada pihak kedua. Burung di udara, ikan di laut, tidaklah
dapat diserahkan karena tidak ada dalam kekuasaannya.
Untuk objek perikatan yang berupa manfaat, maka pihak pertama harus
melaksanakan tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua,
sesuai dengan kesepakatan.
b. Syarat obyektif menurut KUHPerdata
Syarat obyektif dalam pasal 1332-1336 KUHPerdata, meliputi:
1) Adanya obyek perjanjian (onderwerp der overeenskomst). Benda yang
dijadikan obyek perjanjian harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
a)
Barang
itu adalah barang yang dapat diperdagangkan.
b)
Barang-barang
yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum,
pelabuhan umum, dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan obyek perjanjian.
c)
Dapat
ditentukan jenisnya.
2) Adanya sebab yang halal (georloofde oorzak). Dalam perjanjian
diperlukan adanya sebab yang halal, artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi
dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan, keamanan dan ketertiban
umum dan sebagainya.
D.
Tabel Perbandingan Syarat Subyektif dan Syarat Obyektif Menurut
Syariah dan KUH Perdata Beserta Landasan Yuridis.
1. Perbandingan Syarat Subyektif dan Landasannya.
No.
|
Syarat Subyektif Menurut Syariah.
|
Dasar/ Landasan
|
Syarat Subyektif Menurut KUH Perdata.
|
Dasar/ Landasan
|
1
|
Mukallaf (البالغ
والعاقل)
|
رفع
القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى
يعقل" (رواه الإمام أحمد في مسنده)
وقال
بعضهم: "لاتكليف إلا بالعقل"
|
Adanya kesepakatan kedua belah pihak
|
Pasal 1320 KUH Perdata:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi
empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
|
2
|
Tidak terpaksa (مخير)
|
"الفقه على المذاهب الأربعة" فى
كتاب أحكام البيع وما يتعلق به (الركن البيع):
"ومنها أن يكون العاقد مختاراً فلا ينعقد بيع المكره ولا
شراؤه" لقوله تعالى: "إلا أن تكون تجارة عن تراضٍ منكم"
|
Tidak adanya paksaan.
|
Pasal 1321 KUH Perdata:
Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika
diberikan karena kekhilafan atau
diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
|
3
|
Terdapat hak pilih (خيار)
|
عن حكيم بن حزام رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال: "البيعان بالخيار ما لم يتفرقا" (رواه البخاري فى صحيحه)
|
Cakap Bertindak
|
Pasal 1329 KUH Perdata:
Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan
tidak cakap untuk
hal itu.
|
2. Perbandingan Syarat Obyektif dan Landasannya.
No.
|
Syarat Obyektif Menurut Syariah.
|
Dasar/ Landasan
|
Syarat Obyektif Menurut KUH Perdata.
|
Dasar/ Landasan
|
1
|
Harus ada ketika akad dilangsungkan (sudah ada di tangan ba’i dan menjadi miliknya)
|
"الفقه على المذاهب الأربعة" فى كتاب أحكام البيع وما
يتعلق به (الركن البيع):
"ومنها أن يكون المبيع مملوكاً للبائع حال البيع، فلا ينعقد
بيع ما ليس مملوكاً إلا في السلم، فإنه ينعقد بيع العين التي ستملك بعد"
|
Dapat di perdagangkan,
|
Pasal 1332 KUH Perdata:
Hanya barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan.
|
2
|
Halal menurut syara
|
"الأصل فى الأشياء
(المعاملة) الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمها"، كما حرمها الله فى كتابه
سورة المائدة آية 3:
"حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل
لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما
ذكيتم وما ذبح على النصب"
|
dapat
ditentukan jenisnya,
|
Pasal 1333 KUH Perdata:
Suatu persetujuan harus
mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya
ditentukan jenisnya.
Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau
dihitung.
|
3
|
Jelas, diketahui dan dikenali
|
"الفقه على المذاهب الأربعة" فى
كتاب أحكام البيع وما يتعلق به (الركن البيع):
"ومنها أن يكون المبيع معلوماً والثمن معلوماً علماً يمنع من
المنازعة، فبيع المجهول جهالة تفضي إلى المنازعة غير صحيح..."
|
Adanya sebab
yang halal (georloofde oorzak).
|
Pasal 1335 dan 1336 KUH Perdata:
Suatu persetujuan
tanpa sebab, atau dibuat berdasar
kan suatu sebab yang
palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
Jika tidak dinyatakan
suatu sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada
sebab lain yang tidak terlarang selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan
itu adalah sah.
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syarat
sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak
keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, maka akad tersebut
rusak (fasid).
Sangatlah penting suatu akad itu bersifat
sah, yakni terpenuhinya semua rukun dan juga syarat. Karena apabila suatu akad
tidak memenuhi rukun dan syaratnya, maka akad tersebut bersifat batal ataupun
fasid dan akad tersebut pun tidak memiliki kekuatan hukum.
Syarat Subyektif menurut syara antara lain,
Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk, Bebas
memilih, Akad itu dianggap berlaku bila terdapat khiyar (hak pilih). Sedangkan syarat Subyektif menurut
KUHPerdata yaitu, Adanya
kesepakatan / izin (toesteming) kedua belah pihak dan Kedua
belah pihak harus cakap bertindak.
Syarat Obyektif menurut syara antara lain, Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan, Objek
perikatan dibenarkan oleh syariah, Objek akad
harus jelas dan dikenali, Objek dapat
diserah terimakan dan bersifat halal (yang diperbolehkan
oleh syara’). Sedangkan syarat Obyektif menurut KUHPerdata yaitu adanya obyek perjanjian dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
B. Kritik dan Saran
Kami
sadar betul dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kami mengharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun, supaya kami bisa berbuat
lebih baik lagi selanjutnya. Segala kebenaran yang terdapat dalam makalah ini
semata-mat dari Allah SWT dan tentunya segala kesalahan yang terdapat dalam
makalah ini muncul murni dari kebodohan penyusun.
DAFTAR PUSTAKA