Rabu, 29 Agustus 2018

PERAN DAN FUNGSI MAHASISWA DI ERA MILENIAL

CATATAN KECIL SEBUAH ROTASI SEJARAH YANG AKAN MENGANTARKAN MAHASISWA DALAM PERGOLAKAN MENCARI IDENTITAS DIRINYA
DI ERA MILENIAL

Oleh : Gina Washilatul Kamila
Fakultas /Jurusan : Adab dan Humaniora/ Bahasa dan Sastra Inggris

        Mahasiswa yang sadar akan eksistensinya sebagai makhluk sosial yang intelektual dan kritis, hendaknya menjadikan sejarah dari Bangsa ini sebagai referensi yang kongkrit dalam hal tindakan positif. Sehingga mahasiswa tetap mempunyai nilai kritis yang variatif dalam melangkah pada gerakan-gerakan yang berujung kepentingan rakyat.
           Namun, fakta menyatakan bahwa mahasiswa di era milenial ini berada diambang keterpurukan akan sistem dimana tanggung jawab berubah menjadi sebuah ketakutan-ketakutan. Tanggung jawab mahasiswa yang paling utama ialah mentaati segala budaya akademik maupun organisani yang ada di kampus, dengan penuh dedikasi dan loyalitas. Jika kita tengok kebelakang, disaat sebuah tongkat bambu digunakan sebagai sebuah alat pertahanan dan rawa dijadikan sebagai air tegukan. Bagaimana cara pemuda itu mengabdikan dirinya bahkan nyawanya hanya untuk bertanggung jawab atas kewajiban mereka sebagai patriot perlawanan akan bahaya yang sedang mengancam Bangsanya, mereka tetap sigap dan berani melawan meski ujung pedang tepat didepan dadanya.
       Begitupun peran kita sebagai mahasiswa era milenial yang nyatanya mempunyai banyak ancaman, baik ancaman moral maupun spiritual yang mengalir secara perlahan-lahan mengelabui kita. Sebaiknya kita mempunyai rasa tanggung jawab atas apa yang telah menjadi kewajiban kita, yakni tetap semangat menggali ilmu-ilmu yang telah Allah karuniakan kepada kita melalui kajian yang baik agar dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi arus zaman yang semakin menjadi-jadi. Selain daripada itu kita pun harus mempunyai rasa keberanian untuk menegaakan keadilan di manapun di muka bumi ini, berani mengemukakan jajakan-jajakan atau pendapat kita demi kebaikan bersama serta berani mengambil resiko atas apapun yang telah menjadi keputusan kita. Dengan begitu kita akan menjadi seorang tokoh yang tangguh dalam panggung sandiwara ini.
          Adapun fungsi kita para mahasiswa di era milenial ini adalah sebagai penopang aspirasi dalam memberikan semangat juang kepada masyarakat, menjadi pemecah permasalahan-permasalahan yang muncul dalam masyarakat dan ikhlas mengemban amanah menempuh pendidikan di kampus. Oleh karena itu, mahasiswa perlu mengambil pelajaran dari catatan –catatan sejarah mengenai cara bersikap dan berpola pikir para pejuang kemerdekaan agar mampu menghadapi segala dampak yang mungkin saja timbul, sehingga kita dapat menemukan dan memahami seperti apa identitas kita para mahasiswa di era milenial ini.

Minggu, 27 Maret 2016

Kutitipkan Perasaanku Kepada Sang Maha Pemilik Cinta

".....Yang aku cinta, kini engkau telah tiada....."
Merupakan seuntai bait dari lirik sebuah lagu karya "KADAL BAND" yang semalaman terus dikumandangkan oleh "leppy" putihku, menemani terpejamnya mata dalam kegelisahan menunggu terlelapnya raga ini dalam balutan sebuah mimpi. Kata demi kata aku cermati, sepertinya dapat mewakilkan perasaan yang sedang menimpa relung hatiku (walaupun terkesan agak didramatisir). Kegundahan semakin menjadi saat bayangan itu muncul kembali di benak fikiranku, kenangan yang sempat aku mau "save" di sebuah folder dan tak kan ku buka dulu untuk saat ini. Namun apa daya, memori itu kembali datang ke "desktop" lamunanku. Rasa penasaran hati yang terbentuk menjadi butiran-butiran pertanyaan terhadap ketidakbiasaan sikap "nya", kembali berontak menginginkan jawaban yang pasti. Meski pernah sedikit terjawab dari sebuah informasi yang sekiranya "shohih" sanadnya. Dan hal itu bisa membuatku sedikit memahami dan mengerti keadaan dilematis yang "ia" alami. Bahkan aku menjadi sadar untuk cepat bangkit dari genangan harapan yang belum saatnya (dan mungkin masih lama) untuk terealisasikan.
Sesegera mungkin ku menghela nafas dan meminta ampun kepada Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati makhluq-Nya, sembari kembali teringat bahwa semua akan terjadi pada waktu yang telah di goreskan "Qolam". Takkan kubiarkan perasaanku yang suci dijadikan si "ar-rojim" sebagai media untuk melalaikanku. Biarkan kutitipkan perasaanku kepada Sang Maha Pemilik Cinta. Ku yakin Dialah yang Maha Mengetahui segala keinginan dan apa yang dibutuhkan oleh hamba-Nya....

#renunganpagi

Minggu, 11 Oktober 2015

Biarkanlah Rinduku dan Rindumu Menyatu

Dalam diamku, ku teringat selalu...
Dalam diamku, ku terbayang selalu...
Dalam diamku, ku mengejar bayanganmu...
Dalam diamku, ku selalu berdo'a kepada Sang Pemilik Cinta...


Naluri manusia berkata ingin selalu bersama dengan "Dia" yang telah masuk ke relung jiwa...
Namun apa daya jika waktu yang tepat belum saatnya tiba...
Sehingga rasa rindu pun bergejolak didalam dada...
Hanya rasa sabar dan tawakkal kepada-Nya lah yang mampu membendung gejolak rasa..

Aku tahu, kita saling merindu...
Kita tahu, apa yang selalu datang mengisi waktu...
Tuhan pasti tahu, dua hamba yang dilanda rasa dan harapan untuk menyatu...
Dan kau harus tahu, aku sedang berlari menggapai semua itu...

Ku yakin. Dia akan menjawab segala asa hamba-Nya...
Semua akan indah pada waktunya...
Biarkanlah Rinduku dan Rindumu Menyatu...
Nantikanku di batas waktu...


Just for you "Whom I love.."
-el-Razhan-

Selasa, 07 Juli 2015

AMALAN MALAM LAILATUL QODAR



Hai Gaes... kali ini kita mau bagi pengalaman dulu waktu dipondok, ketika sampai pada malam 21, 23, 25, 27 dan 29 bulan Ramadhan, biasanya dilakukan amalan pada tengah malam yang bertujuan untuk menyambut datangnya lailatul qodar (malam yang lebih baik daripada seribu bulan). di malam tersebut (malam 21, 23, 25, 27 dan 29 bulan Ramadhan. -berdasarkan pengalaman para ulama- biasanya lailatul qodar turun, maka kita dihimbau untuk menyambutnya dengan amalan-amalan ibadah. Nah, amalan-amalan ibadah tersebut antara lain sebagai berikut:
1.     Sholat 4 rokaat (2x salam) dg niat:
أصلى سنة لطلب ليلة القدر ركعتين مستقبل الكعبة لله تعالى
a.    Rokaat pertama membaca surat al-qadr 3x
b.    Rokaat kedua membaca surat al-ikhlas 11x
2.      Kalimah thoyyibah:
لاإله إلا الله لا موجود إلا الله * لاإله إلا الله لا معبود إلا الله
لاإله إلا الله لا مطلوب إلا الله * لاإله إلا الله لا مقصود إلا الله
3.      Membaca do’a (3x):
 اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عنا يا كريم    
4.      Membaca do’a (100x):
لاإله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد يحيى ويميت وهو حي دائم لايموت بيده الخير وهو على كل شيء قدير
5.      Membaca do’a (100x):
سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم
6.      Sholawat 100x:
اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد
7.      Istighfar 100x:
أستغفر الله العظيم... أستغفر الله العظيم الذي لاإله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه...

Sabtu, 20 Juni 2015

Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Perjanjian Syariah



SYARAT SAHNYA PERJANJIAN (AKAD)
(Urgensi Sahnya Suatu Perjanjian, Syarat Subyektif dan Objektif Serta Tabulasi Perbandingan)



MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Hukum Perjanijian Syariah
Semester IV tahun ajaran 2014-2015


Dosen Pengampu:
Dr. Suwandi, M.H.

Oleh:
              Muh. Sirojul Munir : 13220206


 








JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Pengantar Filsafat Hukum Islam.
Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perjanjian Syariah, dengan dosen pengampu Dr. Suwandi,M.H
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.








Malang,  14 April 2015

Penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................   i
DAFTAR ISI.....................................................................................................   ii
BAB I: PENDAHULUAN...............................................................................   1
A.    Latar Belakang Masalah......................................................................   1
B.     Rumusan Masalah................................................................................   1
C.    Tujuan Penulisan..................................................................................   2
BAB II: PEMBAHASAN.................................................................................   3
A.    Syarat Sah Perjanjian...........................................................................   3
1.      Definisi Syarat Sah Perjanjian...........................................................   3
2.      Perbedaan Syarat dan Rukun............................................................   4
B.     Urgensi Sahnya Suatu Perjanjian.......................................................   5
1.      Akad Shahih.....................................................................................   5
2.      Akad Tidak Shahih...........................................................................   5
C.    Syarat Subyektif dan Syarat Subyektif..............................................   6
1.      Syarat Subyektif...............................................................................   6
a.       Syarat Subyektif Menurut Syariah..............................................   6
b.      Syarat Subyektif Menurut KUHPerdata....................................   6
2.      Syarat Obyektif.................................................................................   7
a.       Syarat Obyektif Menurut Syariah...............................................   7
b.      Syarat Obyektif Menurut KUHPerdata......................................   9
D.    Tabel Perbandingan Syariah dan Konvensional...............................   10
1.      Perbandingan Syarat Subyektif dan Landasannya...........................   10
2.      Perbandingan Syarat Obyektif dan Landasannya............................   11
BAB III: PENUTUP.........................................................................................   14
A.    Kesimpulan............................................................................................   14
B.     Saran dan Kritik...................................................................................   14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................   15

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal, yang diwujudkan dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat. Ini berarti Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya juga menganut asas kebebasan berkontrak yang dituangkan dalam antaradhin sebagaimana diatur dalam QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat para pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).
Adanya suatu akad mengakibatkan para pihak terikat secara syariah berupa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Sahnya suatu akad menurut Hukum Islam ditentukan dengan terpenuhinya rukun dan syarat suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam suatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba untuk menjelaskan mengenai syarat sah dari suatu perjanjian, yang mana menjadi salah satu penunjang yang penting dari sebuah akad. Karena suatu akad tidak dapat dibenarkan (dikatakan sah) apabila tidak terpenuhi syarat-syaratnya.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan syarat sah perjanjian?
2.    Apa urgensi dari sahnya suatu akad?
3.    Apa saja syarat subjektif dan syarat objektif dari akad?

C.      Tujuan Penulisan
1.    Supaya mengetahui syarat sah perjanjian.
2.    Supaya mengetahui urgensi dari sahnya suatu akad.
3.    Supaya mengetahui syarat subjektif dan syarat objektif dari akad.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Syarat Sah Perjanjian
1.    Pengertian Syarat sah perjanjian
Dalam kitab fathul muin, pada bab shalat dikatakan bahwa syarat adalah:
الشرط ما يتوقف عليه صحة الصلاة وليس منها
“Syarat adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya shalat, dan bukan termasuk dari unsur-unsur shalat tersebut.[1]
Maka, apabila dikaitkan dengan akad, syarat dapat didefinisikan sebagai berikut:
الشرط ما يتوقف عليه صحة العقد وليس منها
“Syarat adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya akad, dan bukan termasuk dari unsur-unsur akad tersebut
Dalam definisi lain, syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.[2]
Maka, dari pengertian-pengertian diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, maka akad tersebut rusak (fasid).[3]
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadharatan, dan syarat-syarat jual beli rusak.
Secara umum, syarat sah dari akad bisa dikatakan sebagai berikut:
a.    tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa halal.
b.    harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).
c.    harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.[4]
2.    Perbedaan syarat dan rukun
Sesungguhnya antara rukun dan syarat punya hubungan yang erat, yaitu bahwa keberadaan masing-masing sama-sama sangat menentukan sah atau tidak sahnya suatu amal. Suatu ibadah tidak akan sah, bila salah satu dari sekian banyak rukunnya tidak terpenuhi. Demikian juga, bila kurang salah satu di antara syarat-syaratnya, juga tidak sah.
Tetapi antara rukun dan syarat juga punya perbedaan yang prinsipil, meski sangat tipis. Sehingga karena saking tipisnya itulah maka para ulama seringkali berbeda pendapat tentang apakah suatu amal termasuk ke dalam daftar rukun atau termasuk ke dalam daftar syarat.
Perbedaan yang asasi antara rukun dan syarat adalah bahwa rukun itu masuk dan berada di dalam ritual ibadah itu sendiri. Sedangkan syarat, tidak masuk ke dalam ritual ibadah, posisinya ada sebelum ibadah itu dilakukan.
Contoh sederhananya adalah menutup aurat sebagai syarat sah shalat, yang harus sudah dikerjakan sebelum shalat. Orang harus sudah menutup aurat sebelum shalat dilaksanakan. Tidak ada cerita pakai sarung sambil sujud atau membaca doa qunut. Pakai sarung itu dikerjakan sebelum shalat. Dan itu adalah syarat sah shalat. Sedangkan rukun, posisinya ada di dalam ibadah itu. Misalnya, membaca surat Al-Fatihah adalah rukun, dan dikerjakannya di dalam shalat, bukan sebelumnya.[5]

B.       Urgensi Sahnya Suatu Akad
Akad dibagi menjadi beberapa macam, yang setiap macamnya sangat bergantung pada sudut pandangnya. Diantaranya yaitu macam-macam akad ditinjau dari ketentuan syara’ antara lain:
1.    Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah ulama Hanafiyah, akad sahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syariat pada asalnya dan sifatnya.
2.    Akad Tidak Sahih
Akad tidak sahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain hanafiyah, menetapkan bahwa akad yang batil atau fasid termasuk golongan ini, sedangkan ulama hanafiyah membedakan antara fasid dan batal.[6]
Dari pembagian tersebut, dapat difahami bahwa sangatlah penting suatu akad itu bersifat sah, yakni terpenuhinya semua rukun dan juga syarat. Karena apabila suatu akad tidak memenuhi rukun dan syaratnya, maka akad tersebut bersifat batal ataupun fasid dan akad tersebut pun tidak memiliki kekuatan hukum.

C.      Syarat Subyektif dan Objektif Akad
1.    Syarat Subyektif
a.    Syarat subyektif menurut syara
Subjek Akad disini adalah dua pihak atau lebih yang melakukan akad. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga akad tersebut dianggap sah. Kelayakan tersebut terwujud dengan beberapa hal berikut:
1)   Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian.
2)   Bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan perlu pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
3)   Akad itu dianggap berlaku bila  terdapat khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.[7]
b.    Syarat subyektif menurut KUHPerdata
Syarat subyek perjanjian menurut pasal 1320-1329 KUHPerdata, meliputi:
1)    Adanya kesepakatan / izin (toesteming) kedua belah pihak. Kesepakatan antara para pihak, yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara kedua belah pihak, tidak ada paksaan dan lainnya.
2)    Kedua belah pihak harus cakap bertindak. Cakap bertindak adalah kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Beberapa golongan orang yang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti : orang dibawah umur, orang di bawah pengawasan (curatele).[8]
2.    Syarat Obyektif
a.    Syarat obyektif menurut syara’
Mahallul ‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud, seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd adalah sebagai berikut:[9]
1)        Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan
Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual anak hewan yang masih didalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum tumbuh. Alasannya, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada. Namun demikian pengecualian terhadap bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna, dan musyaqah yang objek akadnya diperkirakan akan ada di masa yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istihsna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat.
2)        Objek perikatan dibenarkan oleh syariah
Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya tidak suci, seperti bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidak memiliki nilai dan tidak memiliki manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak mensyaratkan adanya kesucian objek akad.
Dengan demikian, jual beli kulit bangkai dibolehkan sepanjang memiliki manfaat. Kecuali benda-benda yang secara jelas dinyatakan dalam nash, seperti, khamar, daging babi, bangkai dan darah. Selain itu, jika objek perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhan adalah tidak dibenarkan pula, batal. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa, benda yang bukan milik seseorang pun tidak boleh dijadikan objek perikatan. Karena hal ini tidak dibenarkan dalam syari’ah.
3)   Objek akad harus jelas dan dikenali
Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh ‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi, dan keadaannya. Jika terdapat cacat pada benda tersebut pun harus diberitahukan. Jika objek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memilki keahlian sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan kepandaiannya dalam bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum atau kurang ahli terampil, mampu, maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar masing-masing pihak memahaminya.
Dalam Hadits riwayat Imam Lima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw melarang jual-beli gharar (penipuan) dan jual-beli hassah (jual beli dengan syarat tertentu, seperti penjual akan menjual bajunya apabila lemparan batu dari penjual mengenai baju itu).
4)   Objek dapat diserah terimakan
Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu disarankan bahwa objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah untuk menyerahkannya kepada pihak kedua. Burung di udara, ikan di laut, tidaklah dapat diserahkan karena tidak ada dalam kekuasaannya.[10]
Untuk objek perikatan yang berupa manfaat, maka pihak pertama harus melaksanakan tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan.
b.    Syarat obyektif menurut KUHPerdata
Syarat obyektif dalam pasal 1332-1336 KUHPerdata, meliputi:
1)    Adanya obyek perjanjian (onderwerp der overeenskomst). Benda yang dijadikan obyek perjanjian harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
a)        Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan.
b)        Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan obyek perjanjian.
c)         Dapat ditentukan jenisnya.
2)    Adanya sebab yang halal (georloofde oorzak). Dalam perjanjian diperlukan adanya sebab yang halal, artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan, keamanan dan ketertiban umum dan sebagainya.[11]


D.  Tabel Perbandingan Syarat Subyektif dan Syarat Obyektif Menurut Syariah dan KUH Perdata Beserta Landasan Yuridis.
1.      Perbandingan Syarat Subyektif dan Landasannya.
No.
Syarat Subyektif Menurut Syariah.
Dasar/ Landasan
Syarat Subyektif Menurut KUH Perdata.
Dasar/ Landasan
1
Mukallaf (البالغ والعاقل)
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يعقل" (رواه الإمام أحمد في مسنده)
وقال بعضهم: "لاتكليف إلا بالعقل"

Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Pasal 1320 KUH Perdata:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi
empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
2
Tidak terpaksa (مخير)
"الفقه على المذاهب الأربعة" فى كتاب أحكام البيع وما يتعلق به (الركن البيع):
"ومنها أن يكون العاقد مختاراً فلا ينعقد بيع المكره ولا شراؤه" لقوله تعالى: "إلا أن تكون تجارة عن تراضٍ منكم"
Tidak adanya paksaan.
Pasal 1321 KUH Perdata:
Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika
diberikan karena kekhilafan atau
diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
3
Terdapat hak pilih (خيار)
عن حكيم بن حزام رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "البيعان بالخيار ما لم يتفرقا" (رواه البخاري فى صحيحه)
Cakap Bertindak
Pasal 1329 KUH Perdata:
Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk
hal itu.

2.      Perbandingan Syarat Obyektif dan Landasannya.
No.
Syarat Obyektif Menurut Syariah.
Dasar/ Landasan
Syarat Obyektif Menurut KUH Perdata.
Dasar/ Landasan
1
Harus ada ketika akad dilangsungkan (sudah ada di tangan ba’i dan menjadi miliknya)
"الفقه على المذاهب الأربعة" فى كتاب أحكام البيع وما يتعلق به (الركن البيع):
"ومنها أن يكون المبيع مملوكاً للبائع حال البيع، فلا ينعقد بيع ما ليس مملوكاً إلا في السلم، فإنه ينعقد بيع العين التي ستملك بعد"
Dapat di perdagangkan,
Pasal 1332 KUH Perdata:
Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan.
2
Halal menurut syara
"الأصل فى الأشياء (المعاملة) الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمها"، كما حرمها الله فى كتابه سورة المائدة آية 3:
"حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب"
dapat  ditentukan jenisnya,
Pasal 1333 KUH Perdata:
Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya
ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau dihitung.
3
Jelas, diketahui dan dikenali
"الفقه على المذاهب الأربعة" فى كتاب أحكام البيع وما يتعلق به (الركن البيع):
"ومنها أن يكون المبيع معلوماً والثمن معلوماً علماً يمنع من المنازعة، فبيع المجهول جهالة تفضي إلى المنازعة غير صحيح..."
Adanya sebab yang halal (georloofde oorzak).
Pasal 1335 dan 1336 KUH Perdata:
Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasar
kan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain yang tidak terlarang selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, maka akad tersebut rusak (fasid).
Sangatlah penting suatu akad itu bersifat sah, yakni terpenuhinya semua rukun dan juga syarat. Karena apabila suatu akad tidak memenuhi rukun dan syaratnya, maka akad tersebut bersifat batal ataupun fasid dan akad tersebut pun tidak memiliki kekuatan hukum.
Syarat Subyektif menurut syara antara lain, Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk, Bebas memilih, Akad itu dianggap berlaku bila  terdapat khiyar (hak pilih). Sedangkan syarat Subyektif menurut KUHPerdata yaitu, Adanya kesepakatan / izin (toesteming) kedua belah pihak dan Kedua belah pihak harus cakap bertindak.
Syarat Obyektif menurut syara antara lain, Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan, Objek perikatan dibenarkan oleh syariah, Objek akad harus jelas dan dikenali, Objek dapat diserah terimakan dan bersifat halal (yang diperbolehkan oleh syara’). Sedangkan syarat Obyektif menurut KUHPerdata yaitu adanya obyek perjanjian dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
B.       Kritik dan Saran
Kami sadar betul dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami mengharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran  yang membangun, supaya kami bisa berbuat lebih baik lagi selanjutnya. Segala kebenaran yang terdapat dalam makalah ini semata-mat dari Allah SWT dan tentunya segala kesalahan yang terdapat dalam makalah ini muncul murni dari kebodohan penyusun.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainuddin bin Abdul Aziz.2000. Fathul Mu’in. Semarang: Toha Putra.
Anisa, Nurul. Hukum Perjanjian Syariah. 2014. (online). (http://nurul-jendelabaru.blogspot.com/2014/09/hukum-perjanjian-islam.html). diakses pada tanggal 13 April 2015 pukul 20.00 WIB.
Anonymous. Syarat-syarat shalat, 2014. (online). (http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=138). diakses pada tanggal 13 April 2015 pukul 20.00 WIB.
Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasb. 2000. Memahami Syariat Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Badroni, Ihsan. 2011. Hukum perjanjian. (online). (https://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/hukum-perjanjian/). diakses pada tanggal 13 April 2015 pukul 20.00 WIB.
Dewi,Gemala. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rahmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.



[1] Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, (Semarang: Toha Putra, 2000), hal. 6.
[2] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 50
[3] Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 65
[4] Nurul Anisa, Hukum Perjanjian Syariah, (http://nurul-jendelabaru.blogspot.com/2014/09/hukum-perjanjian-islam.html), diakses pada tanggal 13 April 2015 pukul 20.00 WIB.
[5] Anonymous, Syarat-syarat shalat, (http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=138), diakses pada tanggal 13 April 2015 pukul 20.00 WIB.
[6] Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, h. 66.
[7] Teuku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Memahami Syariat Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 23
[8] Ihsan Badroni, Hukum perjanjian, (https://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/hukum-perjanjian/), diakses pada tanggal 13 April 2015 pukul 20.00 WIB.
[9]Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 89
[10] Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, h. 90
[11] Ihsan Badroni, Hukum perjanjian, (https://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/hukum-perjanjian/), diakses pada tanggal 13 April 2015 pukul 20.00 WIB.